Tulisan dari ‘TOKOH MANAJEMEN’ Kategori
Sekilas tentang Peter Drucker
Tatkala
Peter F Drucker mulai menyelami kedalaman-kedalaman manajemen puluhan
tahun lalu, mungkin belum terbayangkan kalau manajemen akan berhadapan
dengan turbulensi -turbulensi yang sedahsyat sekarang.
Tidak
saja lingkungan yang mengalami turbulensi (sebagaimana menjadi
perhatian para pemikir corporate planning dan strategic planning),
tetapi manusia-manusia yang mengembangkan sekaligus mengamalkan
manajemen juga mengalami turbulensi.
Dalam skala global, entakkan serangan
teroris yang diikuti oleh serangan balik Pemerintah AS dan kawan-kawan
ke Afganistan dan Irak tidak saja menggambarkan turbulensi global,
tetapi juga mencerminkan turbulensi manusia dalam mengelola dirinya.
Dalam skala korporasi, terbongkarnya mega-skandal Enron, Worldcom,
yang diikuti oleh runtuhnya sebuah firma akuntansi yang mendunia, tidak
saja menunjukkan kelumpuhan manajemen (yang berdiri di atas fakta dan
logika),melainkan juga mencerminkan ketidakmampuan manusia dalam
mengelola keserakahannya.
Lebih-lebih kalau deretan kasus ini
ditambah dengan skandal-skandal birokrasi. Tidak terhitung jumlah uang
yang menguap lewat kasus-kasus korupsi, tidak terhitung juga jumlah
manusia yang bersinar di luar birokrasi, kemudian disedot habis oleh
vacuum cleaner birokrasi ketika mencoba membenahinya. Ini juga sebuah
masukan bagi dunia
manajemen: birokrasi menjadi demikian rumit karena kerumitan-kerumitan dalam diri manusia.
Totalitas kerumitan ini sedang
menyisakan pekerjaan rumah pada dunia manajemen, bagaimana keasyikan
berlebihan membaca pertanda-pertanda lingkungan luar
mengakibatkan terlalu minimnya
pemahaman manajemen akan dinamika internal manusia. Seperti seorang
penunggang kuda, ia memahami kudanya, tetapi gelap sama sekali tentang
siapa dirinya, di mana ia berada serta mau ke mana ia pergi. Dengan
demikian, semua arah menjadi arah yang salah.
Terhalangnya pertumbuhan manajemen
modern oleh kegelapan-kegelapan kecenderungan seperti inilah yang
melahirkan pemikiran-pemikiran yang bermuara pada satu hal: the
management of heart, the heart of management.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran
besar dari manajemen sebagai teknik menuju manajemen sebagai spirit.
Apabila dulu teknik menjadi satu-satunya cahaya penerang keberhasilan,
sekarang ada cahaya penerang keberhasilan yang kedua: heart capital.
Yang unik dari “modal” terakhir ini,
manusia tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk mempelajari segala
teknik luar, tetapi memulai perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan
manajemen sebagai teknik, di mana perbandingan dan persaingan dengan
pihak-pihak luar adalah sumber energi keberhasilan. Dalam manajemen
sebagai spirit, tugas manusia adalah merealisasikan hatinya dalam hidup
sehari-hari.
Kerja di jalan ini adalah peluang
untuk merealisasikan cahaya-cahaya hati. Dan, tatkala kerja diterangi
cahaya hati, tidak ada lagi kegelapan-kegelapan yang mengkhawatirkan.
Sukses-gagal, naik-turun, kaya-miskin, apabila dijalani secara mengalir,
digunakan sebagai peluang pertumbuhan, maka hidup jadi
terang-benderang.
Hampir semua kegelapan datang dari
kemelekatan berlebihan; kalau sukses tidak boleh diganti gagal, naik
tidak boleh diganti turun. Padahal, hukum kehidupan yang berumur tua
bercerita kalau hidup serupa dengan membangun istana dari es. Lakukanlah
seserius dan segembira mungkin. Dan, jangan pernah lupa, hanya
persoalan waktu istana ini pasti meleleh. Hanya keikhlasan yang kemudian
membebaskan. Apabila demikian cara manusia bekerja, di satu sisi kita
tidak kehilangan semangat dan kegembiraan, di lain sisi tidak perlu
dibikin gelap oleh kemelekatan-kemelekatan yang menakutkan.
Bagi setiap pejalan kaki di
jalan-jalan, hati mengetahui, kehidupan serupa dengan berjalan ke puncak
gunung. Semakin lama dan semakin tua kehidupan menjadi semakin sejuk
dan teduh. Tanda-tanda kesejukan dan keteduhan ini tampak dalam hidup
yang penuh rasa syukur. Lebih dari itu, tatkala usia menua, menoleh ke
semua yang telah dilakukan, semuanya terlihat serba membimbing. Dalam
bahasa Rumi, semuanya berisi pesan-pesan Tuhan. Dalam bahasa Bhikku
Buddhadasa, di sini sekarang ini manusia bisa menemukan Nibbana
(batin yang sejuk teduh karena bebas dari kemarahan, kebencian, sakit
hati dan sejenisnya). Kalaupun ada godaan, halangan dan guncangan
(meminjam pendapat Anthony de Mello), ia bagian dari langkah-langkah pembebasan.
Ini sebuah pendekatan dalam memandang
manajemen sebagai spirit. Dan, tentu ada lagi sudut pandang yang lain.
Dalam perspektif ini, patut dihargai hadirnya buku Paulus Bambang WS
yang mau berkontribusi memperkaya wahana manajemen sebagai spirit.
Sebagai praktisi yang sudah lama
malang melintang di dunia bisnis, Paulus Bambang WS tentu tahu
batas-batas logika manajemen yang pernah dibangun orang-orang seperti Peter Drucker, Henry Mintzberg serta Michael Porter.
Kalau ia kemudian ikut masuk dalam arus besar manajemen sebagai spirit,
mungkin karena merasakan melalui tangan pertama, ada yang perlu
diseimbangkan dalam manajemen yang melulu berisi teknik.
Perhatikan cara Paulus Bambang WS
menguraikan idenya. Ia dimulai dengan setumpukan keyakinan, tidak saja
kelicikan dan ketidakjujuran yang bisa membawa kekayaan materi.
Kejujuran, kebaikan, keikhlasan pun bisa berujung pada kekayaan materi.
Contohnya dalam buku ini ada banyak. Dari Miracle Production, Angkasa
Tunggal Sukses, Garuda Food, sampai dengan Astra. Buku ini terurai rapi
karena dipenuhi dengan heart in action in management. Akan berguna bagi
mereka yang berniat melukis hati di dunia korporasi.
Pagar-pagar kemajuan yang dicoba
dibuat buku ini menjadi relevan dalam kekinian karena dunia korporasi
tidak lagi sekadar pembuat barang dan jasa kemudian memasarkannya. Lebih
dari itu, korporasi secara meyakinkan sedang menentukan masa depan
(kecenderungan pengaruhnya bisa mengalahkan negara). Terutama karena ada
pergeseran besar kalau pusat inovasi dan penciptaan masa depan bergeser
dari universitas ke dunia korporasi.
Perhatikan
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dunia teknologi informasi
yang mengubah nyaris semua gaya hidup. Tidak saja cara manusia bekerja
dan berbelanja diubah, cara negara dan rakyat berinteraksi pun berubah.
Dan, nama-nama yang ada di belakang ini siapa lagi kalau bukan korporasi
seperti Microsoft dan perusahaan lain.
Apabila ini acuannya, tidak terbayang
wajah peradaban ke depan kalau energi kemajuan dunia korporasi
semata-mata hanya didorong oleh keserakahan. Oleh karena itulah
kehadiran karya yang mau menerangi korporasi dengan hati seperti buku
ini diperlukan. Sekecil apa pun cahaya yang dihasilkan, ia berpotensi
menyalakan lilin-lilin lain yang belum menyala.
Sebagaimana karya manusia umumnya
yang tunduk pada hukum ketidaksempurnaan, buku ini juga serupa. Aroma
Kristianitas terasa sedikit dominan. Halaman depannya ditandai dengan
“The 10 Commandments” (Sepuluh Perintah Allah). Cerita kasih menghiasi
banyak halaman buku ini. Serangkaian hal yang tidak selalu negatif
tentunya. Namun, bisa menjadi penghalang bagi pembaca yang masih
mengubur dirinya dalam “penjara” agama.
Tidak banyak orang yang berkarya di
dunia spirit yang bisa sejernih Karen Amstrong dan Lex Hixon. Karen
Amstrong yang kelahiran Inggris bisa bercerita sama jernihnya ketika ia
menulis otobiografi Muhammad sekaligus Buddha. Lex Hixon (kelahiran AS)
dalam Coming Home bisa bertutur sama indahnya, baik ketika bercerita
tentang Heidegger, Ramakrishna, Ramana Maharshi, Zen, Advaita Vedanta,
sampai dengan guru sufi Bawa Muhaiyadden.
Dan, kekurangan ada bukan sebagai
awal kehancuran, bukan juga sebagai bahan untuk dijelek-jelekkan.
Kekurangan ada sebagai bahan-bahan pertumbuhan berikutnya. Bukankah
kesempurnaan semakin mendekat tatkala ada sahabat yang dengan penuh
ketulusan mau menunjukkan kekurangan-kekurangan kita?
(Gede Prama, Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara)
WASSALAM
WASSALAM
0 komentar:
Posting Komentar